UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
30 TAHUN 2002
TENTANG
KOMISI
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi
sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu
pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional,
intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional;
b.
bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara
tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi;
c.
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 43
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
korupsi;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat:
1.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
4.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
Dengan
Persetujuan Bersama:
DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Tindak Pidana Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2.
Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
3.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
2
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal
3
Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pasal
4
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan
tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Pasal
5
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
Komisi Pemberantasan Korupsi berasaskan pada:
a.
kepastian hukum;
b.
keterbukaan;
c.
akuntabilitas;
d.
kepentingan umum; dan
e.
proporsionalitas.
BAB
II
TUGAS,
WEWENANG, DAN KEWAJIBAN
Pasal
6
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas:
a.
koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b.
supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
d.
melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak
pidana korupsi; dan
e.
melakukan monitor terhadap penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Pasal
7
Dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:
a.
mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi;
b.
menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c.
meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan
tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait;
d.
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e.
meminta laporan instansi terkait mengenai
pencegahan tindak pidana korupsi.
Pasal
8
(1)
Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.
(2)
Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
(3)
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil
alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang
diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak
tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4)
Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan dengan membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan
tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
9
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan alasan:
a.
laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi
tidak ditindaklanjuti;
b.
proses penanganan tindak pidana korupsi secara
berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c.
penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk
melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d.
penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e.
hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f.
keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian
atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
10
Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik atau
penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal
11
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
a.
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara
negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b.
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
dan/atau
c.
menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Pasal
12
(1)
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang:
a.
melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b.
memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c.
meminta keterangan kepada bank atau lembaga
keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
d.
memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik
tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e.
memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f.
meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka
atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
g.
menghentikan sementara suatu transaksi keuangan,
transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara
perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka
atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
h.
meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi
penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan
barang bukti di luar negeri;
i.
meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang
terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Pasal
13
Dalam melaksanakan tugas pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut:
a.
melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap
laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
b.
menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c.
menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi
pada setiap jenjang pendidikan;
d.
merancang dan mendorong terlaksananya program
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
e.
melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat
umum;
f.
melakukan kerja sama bilateral atau multilateral
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal
14
Dalam melaksanakan tugas monitor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a.
melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan
administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
b.
memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem
pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
c.
melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia,
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika
saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak
diindahkan.
Pasal
15
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
a.
memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor
yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya
tindak pidana korupsi;
b.
memberikan informasi kepada masyarakat yang
memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan
dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c.
menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada
Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan;
d.
menegakkan sumpah jabatan;
e.
menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya
berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
BAB
III
TATA
CARA PELAPORAN DAN PENENTUAN STATUS GRATIFIKASI
Pasal
16
Setiap pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan
Korupsi, dengan tata cara sebagai berikut:
a.
Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi
formulir sebagaimana ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan
dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
b.
Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a
sekurang-kurangnya memuat:
1)
nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi
gratifikasi;
2)
jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
3)
tempat dan waktu penerimaan gratifikasi;
4)
uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
5)
nilai gratifikasi yang diterima.
Pasal
17
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib
menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.
(2)
Dalam menetapkan status kepemilikan gratifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat memanggil
penerima gratifikasi untuk memberikan keterangan berkaitan dengan penerimaan
gratifikasi.
(3)
Status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(4)
Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa penetapan status kepemilikan
gratifikasi bagi penerima gratifikasi atau menjadi milik negara.
(5)
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan
keputusan status kepemilikan gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan.
(6)
Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara
kepada Menteri Keuangan, dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan.
Pasal
18
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan
gratifikasi yang ditetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali
dalam setahun dalam Berita Negara.
BAB
IV
TEMPAT
KEDUDUKAN, TANGGUNG JAWAB, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Pasal
19
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di
ibukota negara Republik Indonesia dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah
negara Republik Indonesia.
(2)
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat membentuk
perwakilan di daerah provinsi.
Pasal
20
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggung jawab
kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara
terbuka dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
(2)
Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
a.
wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban
keuangan sesuai dengan program kerjanya;
b.
menerbitkan laporan tahunan; dan
c.
membuka akses informasi.
Pasal
21
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 terdiri atas
a.
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri
dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
b.
Tim Penasihat yang terdiri dari 4 (empat) Anggota;
dan
c.
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai
pelaksana tugas.
(2)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun sebagai berikut:
a.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi merangkap
Anggota; dan
b.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri
atas 4 (empat) orang, masing-masing merangkap Anggota.
(3)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a adalah pejabat negara.
(4)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.
(5)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bekerja secara kolektif.
(6)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penanggung jawab tertinggi Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal
22
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengangkat
Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b yang
diajukan oleh panitia seleksi pemilihan.
(2)
Panitia seleksi pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibentuk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Panitia seleksi pemilihan mengumumkan penerimaan
calon dan melakukan kegiatan mengumpulkan calon anggota berdasarkan keinginan
dan masukan dari masyarakat.
(4)
Calon anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat untuk mendapat
tanggapan sebelum ditunjuk dan diangkat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
berdasarkan calon yang diusulkan oleh panitia seleksi pemilihan.
(5)
Setelah mendapat tanggapan dari masyarakat, panitia
seleksi pemilihan mengajukan 8 (delapan) calon anggota Tim Penasihat kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi untuk dipilih 4 (empat) orang anggota.
(6)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dilakukan paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal panitia seleksi pemilihan dibentuk.
Pasal
23
Tim Penasihat berfungsi memberikan nasihat dan
pertimbangan sesuai dengan kepakarannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
24
(1)
Anggota Tim Penasihat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 adalah warga negara Indonesia yang karena kepakarannya diangkat oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c adalah warga negara Indonesia yang
karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara
pengangkatan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
25
(1)
Komisi Pemberantasan Korupsi:
a.
menetapkan kebijakan dan tata kerja organisasi
mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b.
mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala
Sekretariat, Kepala Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada Komisi
Pemberantasan Korupsi;
c.
menentukan kriteria penanganan tindak pidana
korupsi.
(2)
Ketentuan mengenai prosedur tata kerja Komisi
Pemberantasan Korupsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan
Korupsi.
Pasal
26
(1)
Susunan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan 4 (empat) orang Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2)
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) membawahkan 4 (empat) bidang yang terdiri atas:
a.
Bidang Pencegahan;
b.
Bidang Penindakan;
c.
Bidang Informasi dan Data; dan
d.
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan
Masyarakat.
(3)
Bidang Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf a membawahkan:
a.
Subbidang Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara;
b.
Subbidang Gratifikasi;
c.
Subbidang Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat; dan
d.
Subbidang Penelitian dan Pengembangan.
(4)
Bidang Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf b membawahkan:
a.
Subbidang Penyelidikan;
b.
Subbidang Penyidikan; dan
c.
Subbidang Penuntutan.
(5)
Bidang Informasi dan Data sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c membawahkan:
a.
Subbidang Pengolahan Informasi dan Data;
b.
Subbidang Pembinaan Jaringan Kerja Antarkomisi dan
Instansi;
c.
Subbidang Monitor.
(6)
Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d membawahkan:
a.
Subbidang Pengawasan Internal;
b.
Subbidang Pengaduan Masyarakat.
(7)
Subbidang Penyelidikan, Subbidang Penyidikan, dan
Subbidang Penuntutan, masing-masing membawahkan beberapa Satuan Tugas sesuai
dengan kebutuhan subbidangnya.
(8)
Ketentuan mengenai tugas Bidang-bidang dan masing-masing
Subbidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal
27
(1)
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi dibantu oleh Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh
seorang Sekretaris Jenderal.
(2)
Sekretaris Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia.
(3)
Dalam menjalankan tugasnya Sekretaris Jenderal
bertanggungjawab kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(4)
Ketentuan mengenai tugas dan fungsi Sekretariat
Jenderal ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
28
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan
kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan dan pembinaan organisasi
Komisi Pemberantasan Korupsi.
BAB
V
PIMPINAN
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
Pasal
29
Untuk dapat diangkat sebagai Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
sehat jasmani dan rohani;
d.
berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang
memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam
bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan;
e.
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun pada proses pemilihan;
f.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.
cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h.
tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
i.
melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi;
j.
tidak menjalankan profesinya selama menjadi anggota
Komisi Pemberantasan Korupsi; dan
k.
mengumumkan kekayaannya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
30
(1)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden
Republik Indonesia.
(2)
Untuk melancarkan pemilihan dan penentuan calon
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Pemerintah membentuk panitia seleksi
yang bertugas melaksanakan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
(3)
Keanggotaan panitia seleksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
(4)
Setelah terbentuk, panitia seleksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) mengumumkan penerimaan calon.
(5)
Pendaftaran calon dilakukan dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja secara terus menerus.
(6)
Panitia seleksi mengumumkan kepada masyarakat untuk
mendapatkan tanggapan terhadap nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7)
Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
disampaikan kepada panitia seleksi paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak
tanggal diumumkan.
(8)
Panitia seleksi menentukan nama calon Pimpinan yang
akan disampaikan kepada Presiden Republik Indonesia.
(9)
Paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi, Presiden
Republik Indonesia menyampaikan nama calon sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
sebanyak 2 (dua) kali jumlah jabatan yang dibutuhkan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.
(10)
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib
memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia.
(11)
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib
memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10),
seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya
menjadi Wakil Ketua.
(12)
Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia kepada Presiden Republik Indonesia paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk
disahkan oleh Presiden Republik Indonesia selaku Kepala Negara.
(13)
Presiden Republik Indonesia wajib menetapkan calon terpilih
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
surat pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Pasal
31
Proses pencalonan dan pemilihan anggota Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dilakukan secara
transparan.
Pasal
32
(1)
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau
diberhentikan karena:
a.
meninggal dunia;
b.
berakhir masa jabatannya;
c.
menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana
kejahatan;
d.
berhalangan tetap atau secara terus-menerus selama
lebih dari 3 (tiga) bulan tidak dapat melaksanakan tugasnya;
e.
mengundurkan diri; atau
f.
dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang ini.
(2)
Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi
menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari
jabatannya.
(3)
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal
33
(1)
Dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota
pengganti kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(2)
Prosedur pengajuan calon pengganti dan pemilihan
calon anggota yang bersangkutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31.
Pasal
34
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang
jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali
masa jabatan.
Pasal
35
(1)
Sebelum memangku jabatan, Ketua dan Wakil Ketua
Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di
hadapan Presiden Republik Indonesia.
(2)
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut:
“Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang
saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak
membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan
akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau
tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap
teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-undang
kepada saya”.
Pasal
36
Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:
a.
mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung
dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
b.
menangani perkara tindak pidana korupsi yang pelakunya
mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau
ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi yang
bersangkutan;
c.
menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan,
organ yayasan, pengawas atau pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya
atau kegiatan lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal
37
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
BAB
VI
PENYELIDIKAN,
PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
38
(1)
Segala kewenangan yang berkaitan dengan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik,
dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku
bagi penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal
39
(1)
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
(2)
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perintah dan
bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang
menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari
instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Pasal
40
Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang
mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara
tindak pidana korupsi.
Pasal
41
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat
melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal
42
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada
peradilan militer dan peradilan umum.
Bagian
Kedua
Penyelidikan
Pasal
43
(1)
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2)
Penyelidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi penyelidikan tindak pidana korupsi.
Pasal
44
(1)
Jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan
menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan
bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi.
(2)
Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada
apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan
tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
(3)
Dalam hal penyelidik melakukan tugasnya tidak
menemukan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelidik
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi
menghentikan penyelidikan.
(4)
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat
bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik
kepolisian atau kejaksaan.
(5)
Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian
atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kepolisian atau kejaksaan
wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bagian
Ketiga
Penyidikan
Pasal
45
(1)
Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan
Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.
Pasal
46
(1)
Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut
prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan
Undang-Undang ini.
(2)
Pemeriksaan tersangka sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan tidak mengurangi hak-hak tersangka.
Pasal
47
(1)
Atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan
yang cukup, penyidik dapat melakukan penyitaan tanpa izin Ketua Pengadilan
Negeri berkaitan dengan tugas penyidikannya.
(2)
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur mengenai tindakan penyitaan, tidak berlaku berdasarkan
Undang-Undang ini.
(3)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan yang sekurang-kurangnya
memuat:
a.
nama, jenis, dan jumlah barang atau benda berharga
lain yang disita;
b.
keterangan tempat, waktu, hari, tanggal, bulan, dan
tahun dilakukan penyitaan;
c.
keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang atau benda berharga lain tersebut;
d.
tanda tangan dan identitas penyidik yang melakukan
penyitaan; dan
e.
tanda tangan dan identitas dari pemilik atau orang
yang menguasai barang tersebut.
(4)
Salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) disampaikan kepada tersangka atau keluarganya.
Pasal
48
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka tindak
pidana korupsi wajib memberikan keterangan kepada penyidik tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh tersangka.
Pasal
49
Setelah penyidikan dinyatakan cukup, penyidik
membuat berita acara dan disampaikan kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
Pasal
50
(1)
Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan
Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara
tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi
tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.
(2)
Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara
terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3)
Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai
melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau
kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan.
(4)
Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan
oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan
yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan.
Bagian
Keempat
Penuntutan
Pasal
51
(1)
Penuntut adalah Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi.
(2)
Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana korupsi.
(3)
Penuntut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Jaksa Penuntut Umum.
Pasal
52
(1)
Penuntut Umum, setelah menerima berkas perkara dari
penyidik, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada
Pengadilan Negeri.
(2)
Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua
Pengadilan Negeri wajib menerima pelimpahan berkas perkara dari Komisi
Pemberantasan Korupsi untuk diperiksa dan diputus.
BAB
VII
PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal
53
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak
pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasal
54
(1)
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di
lingkungan Peradilan Umum.
(2)
Untuk pertama kali Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
(3)
Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi selain
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara bertahap dengan Keputusan
Presiden.
Pasal
55
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) juga berwenang memeriksa dan memutus tindak
pidana korupsi yang dilakukan di luar wilayah negara Republik Indonesia oleh
warga negara Indonesia.
Pasal
56
(1)
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas
hakim Pengadilan Negeri dan hakim ad hoc.
(2)
Hakim Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(3)
Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas usul Ketua
Mahkamah Agung.
(4)
Dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3), Ketua Mahkamah Agung wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.
Pasal
57
(1)
Untuk dapat ditetapkan sebagai hakim Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun;
b.
berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi;
c.
cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi
selama menjalankan tugasnya; dan
d.
tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.
(2)
Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
sehat jasmani dan rohani;
d.
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang
mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di
bidang hukum;
e.
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun
pada proses pemilihan;
f.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.
cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h.
tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
dan
i.
melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal
58
(1)
Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari
kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
(2)
Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2
(dua) orang hakim Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
Pasal
59
(1)
Dalam hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus
dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi.
(2)
Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2
(dua) orang hakim Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim
ad hoc.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 juga
berlaku bagi hakim ad hoc pada Pengadilan Tinggi.
Pasal
60
(1)
Dalam hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana
Korupsi dimohonkan kasasi kepada Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan
diputus dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung
sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
(2)
Pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan oleh Majelis Hakim berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri atas 2
(dua) orang Hakim Agung dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc.
(3)
Untuk dapat diangkat menjadi hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a.
warga negara Republik Indonesia;
b.
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.
sehat jasmani dan rohani;
d.
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang
mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) tahun di
bidang hukum;
e.
berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun
pada proses pemilihan;
f.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela;
g.
cakap, jujur, memiliki integritas moral yang
tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
h.
tidak menjadi pengurus salah satu partai politik;
dan
i.
melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan
lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Pasal
61
(1)
Sebelum memangku jabatan, hakim ad hoc wajib
mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Presiden Republik
Indonesia.
(2)
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbunyi sebagai berikut :
“Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas
ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun
juga, tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun
juga”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi
negara Republik Indonesia”.
“Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas ini dengan
jujur, seksama, dan obyektif dengan tidak membeda-bedakan orang, dan akan
menjunjung tinggi etika profesi dalam melaksanakan kewajiban saya ini dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang petugas yang
berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal
62
Pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
BAB
VIII
REHABILITASI
DAN KOMPENSASI
Pasal
63
(1)
Dalam hal seseorang dirugikan sebagai akibat
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang-Undang ini atau dengan
hukum yang berlaku, orang yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan
rehabilitasi dan/atau kompensasi.
(2)
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi
hak orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan, jika terdapat
alasan-alasan pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
(3)
Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
(4)
Dalam putusan Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditentukan jenis, jumlah, jangka waktu, dan cara
pelaksanaan rehabilitasi dan/atau kompensasi yang harus dipenuhi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
BAB
IX
PEMBIAYAAN
Pasal
64
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas
Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
BAB
X
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
65
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal
66
Dipidana dengan pidana penjara yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang :
a.
mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung
dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi tanpa alasan yang sah;
b.
menangani perkara tindak pidana korupsi yang
pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke
atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan pegawai pada Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bersangkutan;
c.
menjabat komisaris atau direksi suatu perseroan,
organ yayasan, pengurus koperasi, dan jabatan profesi lainnya atau kegiatan
lainnya yang berhubungan dengan jabatan tersebut.
Pasal
67
Setiap Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi
dan pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan tindak pidana
korupsi, pidananya diperberat dengan menambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidana pokok.
BAB
XI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
68
Semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat
terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal
69
(1)
Dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi maka
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menjadi bagian Bidang Pencegahan pada
Komisi Pemberantasan Korupsi.
(2)
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap menjalankan fungsi, tugas, dan
wewenangnya, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan tugas dan
wewenangnya berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB
XII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
70
Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan
tugas dan wewenangnya paling lambat 1 (satu) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
Pasal
71
(1)
Dengan berlakunya Undang-Undang ini Pasal 27
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4150) dinyatakan tidak berlaku;
(2)
Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan
tugas dan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, ketentuan mengenai
Komisi Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 19
dalam BAB VII Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3851), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
72
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Disahkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 27 Desember 2002
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI
SOEKARNOPUTRI
Diundangkan
Di Jakarta,
Pada
Tanggal 27 Desember 2002
SEKRETARIS
NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG
KESOWO
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar